Minggu, 22 Agustus 2010

Anak kecil baca Qur`an

HIDAYAT NUR WAHID


Pimpinan MPR 2004-2009


Jakarta 06/10/2004: Ketua Umum PKS Dr. H.M. Hidayat Nur Wahid Calon Paket B (Koalisi Kerakyatan) terpilih menjadi Ketua MPR RI 2004-2009 dengan meraih 326 suara, hanya unggul dua suara dari Sucipto Calon Paket A (Koalisi Kebangsaan) yang meraih 324 suara, dan 3 suara abstain serta 10 suara tidak sah. Pemilihan berlangsung demokratis dalam Sidang Paripurna V MPR di Gedung MPR, Senayan, Jakarta 6 Oktober 2004.

Koalisi Kerakyatan mencalonkan Paket B yakni Hidayat Nur Wahid dari F-PKS sebagai calon ketua dan AM Fatwa dari Fraksi Partai Amanat Nasional (F-PAN), serta dua dari unsur Dewan Perwakilan Daerah (DPD) BRAy Mooryati Sudibyo dari DKI Jakarta dan Aksa Mahmud dari Sulawesi Selatan masing-masing sebagai calon wakil ketua. Sedangkan Koalisi Kebangsaan mencalonkan Paket A yakni Sucipto dari Fraksi PDI Perjuangan sebagai calon ketua, kemudian Theo L. Sambuaga dari Fraksi Partai Golkar dan dua unsur DPD Sarwono Kusumaatmaja dari DKI Jakarta dan Aida Ismet Nasution dari Kepulauan Riau, masing-masing sebagai calon wakil ketua.

Dalam pidato pertamanya sebagai Ketua MPR, Hidayat Nur Wahid menyebutkan lembaga MPR telah berubah kedudukan dan kekuasaannya sebagai akibat dari perubahan Undang-UndangDasar 1945 yang telah dilakukan oleh MPR pada periode yang lalu. Lembaga MPR tidak lagi menjadi lembaga tertinggi negara dengan kekuasaan yang tidak terbatas.

“Kini MPR mempunyai kedudukan yang sejajar dengan lembaga negara lainnya, seperti Presiden dan DPR. Demikian pula kekuasaan MPR jauh berkurang, kini hanya ada tiga tugas pokok, yaitu menetapkan dan mengubah Undang-Undang Dasar 1945, melantik Presiden dan Wakil Presiden, serta memberhentikan Presiden dan Wakil Presiden dalam masa jabatannya sesuai dengan Undang-undang Dasar,” kata Hidayat Nur Wahid.

Kepada segenap anggota MPR yang telah memilihnya, dari lubuk hati yang paling dalam Hidayat Nur Wahid menyampaikan terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya. Demikian pula, kepada anggota MPR yang pada kesempatan itu tidak memilihnya dengan penuh pengharapan Hidayat mengulurkan jabat tangan mengajak bergandengan tangan memajukan lembaga MPR agar dapat menjalankan tugas dan wewenangnya secara optimal dan maksimal. “Hal ini perlu kami tegaskan, karena dalam pandangan kami hanya dengan dukungan seluruh anggota MPR-lah kami dapat menunaikan tugas melaksanakan amanat rakyat,” tegas Hidayat Nur Wahid.

Sementara menjawab pertanyaan pers di tangga keluar Gedung Nusantara I MPR RI Senanyan tempat sidang berlangsung, Hidayat Nur Wahid menyebutkan akan terus mempertahankan undang-undang untuk melaksanakan kehidupan beragama yang menghadirkan persatuan dan kesatuan nasional. Sehubungan dengan interupsi salah seorang anggota MPR, terjadi usai pemilihan yang meminta agar seluruh anggota MPR mengamankan dan tidak mengubah pembukaan dan pasal 29 batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945 perihal jaminan kebebasan beragama, serta agar tidak lagi mengangkat isu-isu syariat Islam, Hidayat Nur Wahid menyebutkan kekhawatiran semacam itu adalah sangat berlebihan. Karena, demikian Wahid, dengan sesungguhnya kita memang perlu mengamalkan pasal 29 yaitu kehidupan beragama.

Dikatakan Wahid, saat ini kehidupan beragama yang tidak dilaksanakan itu telah menghadirkan korupsi, menghadirkan perilaku yang tidak bermoral, menghadirkan penjualan perempuan, dan mengkhianati amanat rakyat. Beragama yang baik menurut Wahid adalah beragama yang akan menghadirkan perilaku yang bermartabat, perilaku yang membawa kita menjadi masyarakat yang berdaulat, dan itu ada dalam seluruh agama. Masing-masing pimpinan agama dikatakan Wahid mengajarkan yang baik dan benar sehingga tidak terjebak dalam terorism dan diskriminasi yang lainnya.

Perihal posisi Hidayat Nur Wahid sebagai Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS), yang dalam Pemilu Presiden tahap kedua 20 September 2004 mendukung pasangan Presiden (Terpilih) Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden (Terpilih) Muhammad Jusuf Kalla, setelah terpilih menjadi Ketua MPR bagaimana nanti akan mengontrol Presiden, Hidayat Nur Wahid menyebutkan posisi demikian tidak ada masalah dalam konteks mendukung dan mengontrol. Karena, demikian Wahid, pada hakekatnya sebagai lembaga MPR mempunyai tugas dan tanggungjawab yang sudah diatur dalam undang-undang.

Hidayat Nur Wahid mengatakan tugas utamanya adalah bagaimana memainkan peran MPR dalam konteks yang baru, sesuai dengan perubahan undang-undang dasar karena jelas sekali MPR harus pula mengatur pola hubungan lembaganya dengan DPR dan juga dengan DPD. Dipastikan oleh Wahid, tentu perubahan undang-undang dasar tidak akan dilakukan dengan semena-mena. “Kami akan melakukannya sesuai dengan aturan undang-undang itu sendiri.”

Menjawab pertanyaan lain perihal semakin mengkristalnya kekuatan politik antara kelompok religius dan nasionalis, Hidayat memastikan dalam kepemimpinannya tidak akan membedakan antara kelompok religius maupun kelompok nasionalisme. Karena, demikian Wahid, pada hakekatnya kelompok religius adalah juga kelompok nasionalis dan kelompok nasionalis juga adalah kelompok reliogius bila mereka melaksanakan ajaran agama.

Hidayat menyebutkan komitmen pertama yang akan dijalankannya sebagai Ketua MPR adalah menghadirkan konsolidasi dan kebersamaan dengan pimpinan MPR, untuk kemudian menghadirkan kebersamaa dengan pimpinan-pimpinan dari DPR dan DPD sehingga bisa melaksanakan tugas sebaik-baiknya dengan sinergis.*e-ti/ht
tokohindonesia.com

DIN SYAMSYUDDIN


Din Syamsuddin

Ketua Umum PP Muhammadiyah


Politisi dan cendekiawan muslim Prof Dr Din Syamsuddin terpilih secara aklamasi menjadi Ketua Umum PP Muhammadiyah periode 2005-2010 dalam sidang 13 tim formatur di Universitas Muhammadiyah Malang, Jawa Timur, Kamis 7 Juli 2005. Dalam pemilihan 13 orang Pimpinan Pusat Muhammadiyah sebelumnya dia meraih suara terbanyak. Din menggantikan Ahmad Syafi'i Ma'arif.

Penghitungan suara pemilihan Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 2005-2010 pada Muktamar Muhammadiyah ke-45 itu berlangsung selama 2,5 jam sejak pukul 21.10 WIB hingga tengah malam Selasa 5/7/2005 di Universitas Muhammadiyah Malang, Jawa Timur.


Din Syamsuddin meraih 1.718 suara, disusul Haidar Nashir di urutan kedua 1.374 suara. Muhammad Muqadas 1.285 suara urutan ketiga. Urutan keempat Malik Fadjar 1.277, kelima Yunahar Ilyas dengan 1.264, keenam Rosyad Sholeh 1.209, ketujuh Dahlan Rais 1.135, kedelapan Goodwill Zubeir 934, kesembilan Zamroni 910, ke-10 Mukhlas Abror 897, ke-11 Bambang Sudibyo 881, ke-12 Fasichul Lisan 802, dan ke-13 Sudibyo Markus 776 suara.

Sebanyak 2.041 orang dari 2.150 orang muktamirin (peserta muktamar) menggunakan hak pilihnya. Suara sah 1.954, tidak sah 87 dan yang tidak menggunakan hak pilih 11 orang.

Muktamirin memilih 13 orang di antara 39 orang yang telah ditetapkan dalam sidang tanwir sebelumnya menjadi pimpinan pusat (PP).


Ke-13 nama terpilih itu kemudian diajukan ke sidang pleno ke-7 tentang Penetapan Anggota PP Muhammadiyah 2005-2010 pada Kamis (7/7/2005). Kemudian dilanjutkan penetapan Ketua Umum PP Muhammadiyah pada hari yang sama.

Din yang bernama lengkap Sirajuddin Syamsuddin, bukan orang baru dalam organisasi Muhammadiyah. Pada 1985, pria kelahiran Sumbawa Besar pada 31 Agustus 1958, itu telah menjabat Ketua DPP Sementara Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM). Kemudian menjabat Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah 1989-1993, dan Wakil Ketua PP Muhammadiyah 2000-2005.


Sekretaris Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), itu juga seorang politisi. Dia pernah aktif sebagai Ketua Litbang Golongan Karya. Selain itu Din pernah masuk birokrasi sebagai Dirjen Binapenta, Departemen Tenaga Kerja RI.

Suami dari Fira Beranata dan ayah dari tiga anak, itu adalah alumnus IAIN Jakarta. Gelar masternya diraih dari University of California at Los Angeles (UCLA), AS pada 1982. Dari universitas yang sama dia mendapatkan gelar doktor pada 1996. Dia seorang tokoh yang sangat mengedepankan kepentingan muslim.

Pemilihan dimulai pukul 09.00 hingga pukul 17.30 bertempat di Dome UMM dengan suara pertama diberikan Syafi’i Ma’arif, ketua PP Muhammadiyah periode 2000-2005. Kemudian, diikuti pengurus PP yang lain, seperti A. Malik Fadjar, Din Syamsuddin, Rosyad Sholeh, Amin Abdullah, Haedar Nasir, Goodwill Zubair, Abdul Munir Mulkan, dan Hajriyanto Y. Thohari. Bambang Sudibyo tidak ikut memilih karena kesibukannya selaku Mendiknas di Jakarta.

Disusul utusan dari pengurus wilayah (PW), pengurus daerah (PD), dan organisasi otonom (ortom) Muhammadiyah. Mereka memberikan suara dengan cara menuliskan 13 nama dari 39 daftar calon dalam surat suara di delapan bilik.


Selanjutnya, mulai pukul 21.30, panitia pemilihan dengan para saksi yang telah ditetapkan muktamar menghitung suara di ruang tertutup. Penghitungan berlangsung 2,5 jam hingga tengah malam. Tahapan itu berbeda dengan pemilihan pimpinan ormas lain dan parpol yang biasanya dilaksanakan secara terbuka. Panitia penghitungan suara sudah disumpah. ►e-ti/tsl

*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)

ABU BAKAR BA`ASYIR


Vonis Tak Terlibat Bom Bali

Ketua Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) Abu Bakar Ba’asyir yang akrab dipanggil Ustadz Abu, divonis Mahkamah Agung bebas dari dakwaan terkait dengan kasus terorisme dan peledakan bom di Bali. Pemimpin Pondok Pesantren Al Mu'min, Solo, kelahiran Jombang, 17 Agustus 1938, itu sebelumnya dihukum PN selama 2,5 tahun penjara atas dakwaan terlibat kasus terorisme.

Direktur Pidana MA Zarof Ricar, Kamis 21/12/2006, kepada pers mengungkapkan keputusan Mahkamah Agung lewat majelis hakim yang dipimpin German Hoediarto yang mengabulkan permohonan peninjauan kembali (PK) dari Ba’asyir. Permohonan itu diputuskan pada Kamis pagi 21/12/2006.

Putusan itu dijatuhkan setelah lebih dari satu tahun sejak proses sidang PK itu digelar pertama kali di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan. PK itu diajukan tim penasihat hukum Ba’asyir menyikapi putusan MA tanggal 3 Agustus 2005.

Dalam PK itu, tim penasihat hukum Ba’asyir mengajukan sejumlah saksi baru, seperti Ustadz Muzahir dari Forum Umat Islam Surakarta, Habib Rizieq, Amrozi, serta dua pengacara Amrozi, yaitu Qadhar Faisal dan Mirzen.

Sebelumnya, oleh majelis hakim PN Jakarta Selatan, pemimpin Pondok Pesantren Al Mukmin Ngruki, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah, itu dijatuhi hukuman 2,5 tahun penjara atas dakwaan terlibat kasus terorisme. Putusan itu lebih ringan dibandingkan dengan tuntutan jaksa, yang memintanya dihukum delapan tahun penjara. Putusan itu diperkuat dalam kasasi MA.

Tanggal 14 Juni lalu Ba’asyir dibebaskan. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Hamid Awaludin kala itu menegaskan, pembebasan itu murni karena pertimbangan hukum. Ba’asyir menjalani masa hukumannya di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang, Jakarta Timur.

Seorang penasihat hukum Ba’asyir, Mahendradatta, mengatakan Ba’asyir menanggapi putusan itu sebagai kehendak Allah, tetapi belum diputuskan rencana menanggapi putusan itu.

Perjalanan Hidup

Abu Bakar Ba'asyir bin Abu Bakar Abud yang biasa dipanggil Ustadz Abu dan nama lain Abdus Somad, ini lahir di Jombang pada 17 Agustus 1938. Dia seorang ustadz Muslim keturunan Arab. Dia juga dituding sebagai kepala spiritual Jemaah Islamiyah (JI), sebuah grup separatis militan Islam. Berbagai badan intelijen menuduh Ba'asyir mempunyai hubungan dengan al-Qaeda. Ba'asyir membantah dia menjalin hubungan dengan JI, al-Qaeda atau terorisme. Ba'asyir merupakan pemimpin Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) serta salah seorang pendiri Pondok Pesantren Islam Al Mu'min di Ngruki, Sukoharjo, Jawa Tengah.

Ustadz Abu adalah lulusan Pondok Pesantren Gontor, Jombang, Jawa Timur (1959) dan Fakultas Dakwah Universitas Al-Irsyad, Solo, Jawa Tengah (1963). Perjalanan karirnya dimulai dengan menjadi aktivis Himpunan Mahasiswa Islam Solo. Selanjutnya menjabat Sekretaris Pemuda Al-Irsyad Solo, dan terpilih menjadi Ketua Gerakan Pemuda Islam Indonesia (1961), Ketua Lembaga Dakwah Mahasiswa Islam. Kemudian memimpin Pondok Pesantren Al Mu'min (1972) dan menjabat Ketua Organisasi Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), sejak 2002

Sebelum tahun 2000
10 Maret 1972, Pondok Pesantren Al-Mukmin didirikan oleh Abu Bakar Ba'asyir bersama Abdullah Sungkar, Yoyo Roswadi, Abdul Qohar H. Daeng Matase dan Abdllah Baraja. Pondok Pesantren ini berlokasi di Jalan Gading Kidul 72 A, Desa Ngruki, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah. Menempati areal seluas 8.000 meter persegi persisnya 2,5 kilometer dari Solo. Keberadaan pondok ini semula adalah kegiatan pengajian kuliah zuhur di Masjid Agung Surakarta. Membajirnya jumlah jamaah membuat para mubalig dan ustadz kemudian bermaksud mengembangkan pengajian itu menjadi Madrasah Diniyah.

1983, Abu Bakar Ba'asyir ditangkap bersama dengan Abdullah Sungkar. Dia dituduh menghasut orang untuk menolak asas tunggal Pancasila. Dia juga melarang santrinya melakukan hormat bendera karena menurut dia itu perbuatan syirik. Tak hanya itu, dia bahkan dianggap merupakan bagian dari gerakan Hispran (Haji Ismail Pranoto)--salah satu tokoh Darul Islam/Tentara Islam Indonesia Jawa Tengah. Di pengadilan, keduanya divonis 9 tahun penjara.

11 Februari 1985, Ketika kasusnya masuk kasasi Ba'asyir dan Sungkar dikenai tahanan rumah, saat itulah Ba'asyir dan Abdullah Sungkar melarikan diri ke Malaysia. Dari Solo mereka menyebrang ke Malaysia melalui Medan. Menurut pemerintah AS, pada saat di Malaysia itulah Ba'asyir membentuk gerakan Islam radikal, Jamaah Islamiyah, yang menjalin hubungan dengan Al-Qaeda.

1985-1999, Aktivitas Ustadz Baasyir di Singapura dan Malaysia ialah menyampaikan Islam kepada masyarakat Islam berdasarkan Al Quran dan Hadits yang dilakukan sebulan sekali dalam sebuah forum, yang hanya memakan waktu beberapa jam di sana. ia tidak membentuk organisasi atau gerakan Islam apapun. Selama di sana dia dan Abdullah Sungkar hanya mengajarkan pengajian dan mengajarkan sunah Nabi. Namun pemerintah Amerika Serikat memasukkan nama Ba'asyir sebagai salah satu teroris karena gerakan Islam yang dibentuknya yaitu Jamaah Islamiyah, terkait dengan jaringan Al-Qaeda.

1999, Sekembalinya dari Malaysia, Ba'asyir langsung terlibat dalam pengorganisasian Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) yang merupakan salah satu dari Organisasi Islam baru yang dinilai berbagai pihak bergaris keras. Organisasi ini bertekad menegakkan Syariah Islam di Indonesia.


Tahun 2002
10 Januari 2002, Kepala Kejaksaan Negeri (Kejari) Sukoharjo, Muljadji menyatakan bahwa pihaknya akan segera melakukan eksekusi putusan kasasi Mahkamah Agung terhadap pemimpin tertinggi Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) Abu Bakar Ba'asyir. Untuk itu, Kejari segera melakukan koordinasi dengan Polres dan Kodim Sukoharjo.

25 Januari 2002, Abu Bakar Ba'asyir memenuhi panggilan untuk melakukan klarifikasi di Mabes Polri. Abu Bakar datang ke Gedung Direktorat Intelijen di Jakarta sekitar pukul 09.30. Saat konferensi pers, pengacara Abu Bakar Ba'asyir, Achmad Michdan, mengatakan, pemanggilan Abu Bakar Ba'asyir oleh Mabes Polri bukan bagian dari upaya Interpol untuk memeriksa Abu Bakar. "Pemanggilan itu merupakan klarifikasi dan pengayoman terhadap warga negara," tegas Achmad.

28 Februari 2002, Menteri Senior Singapura, Lee Kuan Yew, menyatakan Indonesia, khususnya kota Solo sebagai sarang teroris. Salah satu teroris yang dimaksud adalah Abu Bakar Ba'asyir Ketua Majelis Mujahidin Indonesia, yang disebut juga sebagai anggota Jamaah Islamiyah.

19 April 2002, Ba'asyir menolak eksekusi atas putusan Mahkamah Agung (MA), untuk menjalani hukuman pidana selama sembilan tahun atas dirinya, dalam kasus penolakannya terhadap Pancasila sebagai azas tunggal pada tahun 1982. Ba'asyir menganggap, Amerika Serikat berada di balik eksekusi atas putusan yang sudah kadaluarsa itu.

20 April 2002, Ba'asyir meminta perlindungan hukum kepada pemerintah kalau dipaksa menjalani hukuman sesuai putusan kasasi MA tahun 1985. Sebab, dasar hukum untuk penghukuman Ba'asyir, yakni Undang-Undang Nomor 11/PNPS/1963 mengenai Pemberantasan Tindak Pidana Subversi kini tak berlaku lagi dan pemerintah pun sudah memberi amnesti serta abolisi kepada tahanan dan narapidana politik (tapol/napol).

April 2002, Pemerintah masih mempertimbangkan akan memberikan amnesti kepada tokoh Majelis Mujahidin Indonesia KH Abu Bakar Ba'asyir, yang tahun 1985 dihukum selama sembilan tahun oleh Mahkamah Agung (MA) karena dinilai melakukan tindak pidana subversi menolak asas tunggal Pancasila. Dari pengecekan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia (Menkeh dan HAM) Yusril Ihza Mahendra, ternyata Ba'asyir memang belum termasuk tahanan politik/narapidana politik (tapol/napol) yang memperoleh amnesti dan abolisi dalam masa pemerintahan Presiden Habibie maupun Abdurrahman Wahid.

8 Mei 2002, Kejaksaan Agung (Kejagung) akhirnya memutuskan tidak akan melaksanakan eksekusi terhadap Abu Bakar Ba'asyir atas putusan Mahkamah Agung (MA) untuk menjalani hukuman pidana selama sembilan tahun penjara. Alasannya, dasar eksekusi tersebut, yakni Undang-Undang (UU) Nomor 11/ PNPS/1963 mengenai tindak pidana subversi sudah dicabut dan melanggar hak asasi manusia (HAM). Sebaliknya, Kejagung menyarankan kepada Kepala Kejaksaan Negeri Sukoharjo (Jawa Tengah) untuk meminta amnesti bagi Ba'asyir kepada Presiden Megawati Soekarnoputri.

8 Agustus 2002, Organisasi Majelis Mujahidin Indonesia mengadakan kongres I di Yogyakarta untuk membentuk pimpinan Mujahidin. Terpilihlah Ustad Abu Bakar Ba'asyir sebagai ketua Mujahidin sementara.

19 September 2002, Ba'asyir terbang ke Medan dan Banjarmasin untuk berceramah. Dari sana, ia kembali ke Ngruki untuk mengajar di pesantrennya.

23 September 2002, Majalah TIME menulis berita dengan judul Confessions of an Al Qaeda Terrorist dimana ditulis bahwa Abu Bakar Ba'asyir disebut-sebut sebagai perencana peledakan di Mesjid Istiqlal. Time menduga Ba'asyir sebagai bagian dari jaringan terorisme internasional yang beroperasi di Indonesia. TIME mengutip dari dokumen CIA, menuliskan bahwa pemimpin spiritual Jamaah Islamiyah Abu Bakar Ba'asyir "terlibat dalam berbagai plot." Ini menurut pengakuan Umar Al-Faruq, seorang pemuda warga Yaman berusia 31 tahun yang ditangkap di Bogor pada Juni lalu dan dikirim ke pangkalan udara di Bagram, Afghanistan, yang diduduki AS.

Setelah beberapa bulan bungkam, akhirnya Al-Faruq mengeluarkan pengakuan--kepada CIA--yang mengguncang. Tak hanya mengaku sebagai operator Al-Qaeda di Asia Tenggara, dia mengaku memiliki hubungan dekat dengan Abu Bakar Ba'asyir. Menurut berbagai laporan intelijen yang dikombinasikan dengan investigasi majalah Time, bahkan Ba'asyir adalah pemimpin spiritual kelompok Jamaah Islamiyah yang bercita-cita membentuk negara Islam di Asia Tenggara. Ba'asyir pulalah yang dituding menyuplai orang untuk mendukung gerakan Faruq. Ba'asyir disebut sebagai orang yang berada di belakang peledakan bom di Masjid Istiqlal tahun 1999. Dalam majalah Time edisi 23 September tersebut, Al-Farouq juga mengakui keterlibatannya sebagai otak rangkaian peledakan bom, 24 Desember 2000.

25 September 2002, Dalam wawancara khusus dengan wartawan TEMPO, Ba'asyir mengatakan bahwa selama di Malaysia dia tidak membentuk organisasi atau gerakan Islam apapun. Selama di sana dia dan Abdullah Sungkar hanya mengajarkan pengajian dan mengajarkan sunah Nabi. "Saya tidak ikut-ikut politik. Sebulan atau dua bulan sekali saya juga datang ke Singapura. Kami memang mengajarkan jihad dan ada di antara mereka yang berjihad ke Filipina atau Afghanistan. Semua sifatnya perorangan," ungkapnya.

1 Oktober 2002, Abu Bakar Ba'asyir mengadukan Majalah TIME sehubungan dengan berita yang ditulis dalam majalah tersebut tertanggal 23 September 2002 yang menurut Ba'asyir berita itu masuk dalam trial by the press dan berakibat pada pencemaran nama baiknya. Ba'asyir membantah semua tudingan yang diberitakan Majalah TIME. Ia juga mengaku tidak kenal dengan Al-Farouq.

11 Oktober 2002, Ketua Majelis Mujahidin Indonesia Abu Bakar Ba`asyir meminta pemerintah membawa Omar Al-Faruq ke Indonesia berkaitan dengan pengakuannya yang mengatakan bahwa ia mengenal Ba'asyir. Atas dasar tuduhan AS yang mengatakan keterlibatan Al-Farouq dengan jaringan Al-Qaeda dan aksi-aksi teroris yang menurut CIA dilakukannya di Indonesia, Ba'asyir mengatakan bahwa sudah sepantasnya Al-Farouq dibawa dan diperiksa di Indonesia.

14 Oktober 2002, Ba'asyir mengadakan konferensi pers di Pondok Al-Islam, Solo. Dalam jumpa pers itu dia mengatakan peristiwa ledakan di Bali merupakan usaha Amerika Serikat untuk membuktikan tudingannya selama ini bahwa Indonesia adalah sarang teroris.

17 Oktober 2002, Markas Besar Polri telah melayangkan surat panggilan sebagai tersangka kepada Pemimpin Majelis Mujahidin Indonesia Abu Bakar Ba`asyir. Namun Ba'asyir tidak memenuhi panggilan Mabes Polri untuk memberi keterangan mengenai pencemaran nama baiknya yang dilakukan oleh majalah TIME.

18 Oktober 2002, Ba'asyir ditetapkan tersangka oleh Kepolisian RI menyusul pengakuan Omar Al Faruq kepada Tim Mabes Polri di Afghanistan juga sebagai salah seorang tersangka pelaku pengeboman di Bali.

Tahun 2005-2006
3 Maret 2005, Ba'asyir dinyatakan bersalah atas konspirasi serangan bom 2002, tetapi tidak bersalah atas tuduhan terkait dengan bom 2003. Dia divonis 2,5 tahun penjara.

17 Agustus 2005, masa tahanan Ba'asyir dikurangi 4 bulan dan 15 hari. Hal ini merupakan suatu tradisi pada peringatan Hari Kemerdekaan Indonesia. Dia dibebaskan pada 14 Juni 2006.

21 Desember 2006, Mahkamah Agung lewat majelis hakim yang dipimpin German Hoediarto, memutuskan pemimpin Majelis Mujahidin Indonesia atau MMI Abu Bakar Ba’asyir bebas dari dakwaan terkait dengan kasus terorisme dan peledakan bom di Bali. ► e-ti/crs (Sumber: Kompas, Berita di Tempo Interaktif; Berita di Majalah Time tentang Pengakuan Umar al-Faruq; dan id.wikipedia.org)

*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia

Jumat, 20 Agustus 2010

Penangkapan Abu bakar Ba`asyir

Penangkapan seorang tokoh yang secara tidak wajar dan tidak manusiawi.